Selasa, 31 Mei 2011

pengawal pribadi

“Jul, ada kerjaan gak? Kalau gak, ikut gue yuk. Kita ke Bandara, jemput teman lama. Dia baru datang dari Swiss.” Aku sms ke si Juli, temanku. Teman kuliahku. Dia imut orangnya. Kata orang awam yang gak mengenal dia. Tapi memang dia itu lah yang paling sabar diantara kami. Karena bahan yang enak untuk kami cengin adalah dia!.

“di mana lo?? Jadi gak??”, Juli sms saya, kira kira setelah 20 menit dari sms pertama saya tadi. “gak jadi Jul, udah keduluan Zaenab dan Sarah. Malu. Biarin aja, nanti kalau si Doel pergi lagi ke Swiss, baru kita anter. Setuju yaa?”. “sialan lo.” Itu balasan terakhir dari si Juli.

Dan asal kamu tahu kawan. Gara gara sms ajakan aku itu, dia sampai di kasih ongkos oleh bapaknya sebesar Rp. 20.000,-, agar dia bisa pergi dengan aman, sejahtera dan selamat sampai ke Bandara. Hmmm. Salah siapa coba sampai kayak gini?. Salah gue? Salah nenek moyang? Hah?. Julinya aja sih yang gak nonton film Si Doel Anak Sekolahan. Huh..!

Dan yang lebih parah, dia dan teman temanku, menyebut diriku Jadul. Aku bilang ya sama kalian. Bangsa yang paling besar adalah bangsa yang menghargai pendahulunya. Begitu orang bijak berbicara. Layaknya kalian bicara seperti itu, adalah seperti supir angkot saja. Selalu mencari penumpang baru. Penumpang yang lama di diamkan saja. Di ajak ngobrol juga enggak, di ajak nge-teh juga tidak. Ahh dasar, selalu sibuk mencari penumpang baru!

Dan daripada aku di rumah. Harus menunggu ini rumah. Yang dengan kepercayaanku sangat tinggi, mana mungkin dia (rumah) lari. Kalaupun dia lari, harus melewati jalan mana dia. Tidak ada jalan untuk rumah. Apalagi jalan tol. Jadi lebih baik aku tidak usah menunggu rumah. Lebih baik aku pergi ke Rawamangun sana. Ke tempat Universitas Negeri Jakarta berada.

Sedikitpun aku tidak bisa berbicara ketika memasuki gerbang kampus. Oh iya lupa, aku masih pakai helm.

Sesudahnya aku parkir motorku di depan Gedung Seni Rupa, dan kubuka helm, maka aku menghampiri 3 orang petugas parkir kampus. Pipin, Azis dan Bambang. “gek sibuk ora?”, itu tanyaku kepada Pipin tentang sedang sibuk atau tidak. “ora, meh opo Bob?”, artinya “tidak, kenapa sih?”. Itu jawab si Pipin. “kawal aku yo, ke Gedung Administrasi. Takut aku sendiri. Takut ditimpukin. Yaah”. Pintaku. “piye zis?”, eh, si Pipin malah nanya ke Azis. Gimana sih! “ayo dah.”, nah si Azis setuju, kawan.

Maka berangkatlah aku, ditemani oleh tiga orang pengawal. Hahahhaa. Berasa jadi artis. Aku berjalan di depan, dan si Pipin, Azis dan Bambang berjalan berdampingan di belakangku. Berjalan menyusuri lorong lorong kampus. Berjalan sambil menggoda dengan senyuman kepada mahasiswi mahasiswi yang kami temui. Menyapa dia, si Nana, pedagang asongan di kampus. Menggoda dia juga, seorang satpam yang aku tidak kenal namanya. “pak, ikut enggak? Kita ke Masjid, berdakwah”, pintaku kepada pak satpam. Aih, dia Cuma senyum aja. Hmm.

Sesampai di Gedung Administrasi, aku minta mereka untuk menunggu di depan. “tunggu sini dulu ya, mau menghadap bapak, mau menanyakan masalah SPP.” Pintaku kepada mereka bertiga. “siaap grraak!”, tegas si Pipin berbicara.

Akhirnya aku masuk ke dalam Gedung Administrasi untuk mengurus surat surat buat PKL. PKL itu Praktek Kerja Lapangan. Yang namanya praktek kerja ya di lapangan. Yang namanya lapangan pasti luas. Tapi ya sudah, gak usah diperdebatkan layaknya kasus korupsi yang menimpa negeri ini. Negeri yang gemah ripah loh jinawi. Negeri yang punya banyak pulau. Negeri yang bernenek moyang pelaut, tapi walaupun begitu saya tidak bisa berenang, dan si Riki, teman saya, tidak doyan makan ikan laut.

Maka ketika selesai, aku menghampiri Pipin, Azis dan Bambang, untuk selanjutnya aku berikan mereka masing masing Lima Ribu rupiah sebagai ongkos jalan.

Hahaha, liat betapa senangnya mereka. Betapa senyumnya aku, melihat suatu hal yang kata orang jelas bahwa perbuatan kami adalah suatu ketidakjelasan yang hakiki. Tetapi biarlah. Biarkan semua berbicara tentang sesuatu hal yang harus sesuai dengan pandangan umum, dan aku juga teman temanku dan mungkin Pipin, Azis dan Bambang akan selalu melakukan yang khusus. Agar dengan itu kami adalah makhluk yang super eksekutif.

Jakarta, Selasa akhir Mei 2011

Sedang menikmati hujan dari dalam rumah

Sabtu, 28 Mei 2011

sekolah adalah kenangan

Putih biru adalah warna. Jika di Indonesia, putih biru identik dengan seragam SMP (Sekolah Menengah Pertama), setuju ya?. Kenapa disebutkan pertama? Ya, karena tidak ada sekolah menengah kedua, ketiga bahkan keempat. Setuju lagi ya?. Dan di tahun 1999 lah aku mulai memasuki masa sekolah di SMP. Masa dimana aku melanjutkan sekolah setelah SD (Sekolah Dasar). Masa dimana aku menemui SMPku yaitu di daerah Cijantung. Daerah Jakarta.

Aku hanya ingin berbagi cerita. Karena tiap yang aku lakukan harus mendapati beragam cerita di dalamnya. Cerita suka, cerita duka, cerita pendek, bahkan akan adanya cerita bersambung. Di SMPku lah ini, aku mendapatkan teman yang berbeda ketika aku SD. Dan di SMP inilah cita citaku dari kecil menjadi terbongkar. Menjadi banyak yang mengetahui bahwa aku berkeinginan menjadi supir bis malam. Menjadi awal yang pada tahu bahwa aku tidak bisa berenang. Dan di SMP ini lah pertama kali aku mengenalkan nama “Bobby” kepada teman temanku.

Ada Tugio, dia kami panggil dengan nama itu karena mirip sekali dengan striker klub sepakbola asal Semarang. Ada Sengkle, yang kau tahulah karena kepalanya itu yang membuat kami curiga. Juga ada Iqbal Bonto, yang ketika bermain sepak bola, aku suruh dia untuk mengambil bola dari kaki musuh, eh dia malah mengambil bolanya beneran untuk diberikan kepadaku. Emangnya kue!

Oiya, ada juga Ulfa, dimana cinta pertamaku tertambat. Ahaay.

Dan juga bu Selvy. Guru Sejarahku kala SMP. Karena dialah maka kami harus berpisah. Dia harus kembali ke negaranya di Timor Leste. Timor timur dulunya.

Selesai SMP, maka tepatnya di tahun 2002, aku masuk STM. Tidak usah aku jelaskan ya, apa itu STM, mudah mudahan kamu mengetahuinya. Termasuk alasan kenapa aku harus masuk ke STM juga tidak usah aku jelaskan juga, ya. Aku takut jika aku cerita nanti, aku dianggap mempengaruhimu untuk masuk STM. Nanti semuanya juga. Hmm, inilah aku yang sangat pede. Walaupun jelek, tetap harus pede, karena itu adalah rahmat!

Maka di STM inilah aku harus sekolah selama 4 tahun. Dan aku masuk jurusan listrik. Kenapa? Agar dengan itu aku bisa mengetahui betapa hebatnya bapak Thomas Alva Edison dulu. Betapa okenya Bapak Marie Ampere, Bapak Volt, dan semuanya. Termasuk keren kerennya bapak guruku.

Dan di STM jugalah aku pertama kalinya belajar menjadi seorang siswa yang mulai berpikiran beda. Berbeda dari murid lainnya. Dimana kami maunya disebut siswa bukan murid. Kenapa? Itu urusan kami, mau menjawab atau tidak. Maaf ya.

Atas nama diri sendiri aku memohon maaf yang sebesar besarnya kepada salah satu Ibu Guru dari mahasiswa yang sedang praktek mengajar. Mohon maaf karena kami, kamu menjadi terkunci di kelas kami yang isinya cowok semua. Dan karena itu kamu menjadi menangis.

Kepada teman teman jurusan Listrik dan lainnya, terima kasih.

Kepada Dani, terima kasih atas masa MOS (masa orientasi siswa) ketika itu. Membuat kita masih bisa tertawa lagi ketika harus kumpul. Dan semoga kamu menjadi bapak yang baik untuk anakmu.

Untuk Ibu Guru PPKn ketika itu. Kamu menghukumku karena aku bercanda dengan temanku ketika petugas PASKIBRA sedang membacakan Pancasila. Aku diminta olehmu untuk masuk ke setiap kelas dan membacakan Pancasila. Ohh, Ibu berharap dengan itu aku bisa menghapalnya, ternyata tidak. Maaf ibu.

Dan sepertinya, STMku sekarang berbeda dengan masa masa waktu itu. Sekarang sudah tidak ada lagi yang telanjang bareng sehabis olahraga di lapangan. Sudah tidak ada lagi yang membalik posisi mimbar Masjid, yang menjadikan sang khotib harus membelakangi jemaah. Termasuk mengkorsletkan mesin pembuang air sekolah, agar dengan itu kami berharap ketika hujan turun, sekolah akan banjir dan kami diliburkan.

Di tahun dua ribu enamlah aku memasuki masa masa menjadi mahasiswa di Universitas Negeri jakarta. Kakak kakak ospek yang galak dan juga menghibur. Aku rindu. Rindu akan aktivitas ospek. Rindu akan mengerjai panitia ospek dari jurusan yang lainnya. Rindu akan cerita cerita itu.

Tak ada yang abadi. Termasuk pula dengan kehidupan. Tapi cerita, kenangan dan kalian semua tetap abadi. Abadi menjadi salah satu bagian hidupku. Abadi menjadi legenda kampus. Jangan pedulikan orang lain yang menjadikan slogan “Hidup Mahasiswa!”, slogan kita tetaplah “Hidup Mahasiswi!”. Semangat kita akan “ yang menang membeli arang dan yang kalah membeli daging ayam” untuk selanjutnya kita bakar sehingga menjadi sate ayam. Jadi tak ada ruginya menang dan tak ada salahnya menjadi kalah. Semuanya tetap bisa makan sate ayam.

Lantai 2, rumahku

27 Mei 2011

balon pizza

Bagi siapapun yang ada di luar Jakarta, ketahuilah olehmu bahwa di Jakarta punya Universitas Negeri. Dan aku harus bangga kuliah di sana, karena di sanalah aku mengetahui kalau Jakarta adalah negeri, bukan kota. Wahai kampusku, mudah mudahan kamu juga bangga padaku karena aku menjadi mahasiswamu. Setuju ya?.

Dan kalau kau ada di kampusku waktu itu, maka kau harus melihatku. Lihatlah, aku sedang duduk di depan markas radio kampus dengan celana pendek dan kaos. Maklumlah, semalam aku tidak meniduri siapapun. Melainkan aku meniduri karpet yang ada di dalam Educational radio. Dan kau kuberitahu, aku sedang menunggu Reno, dia adik kelasku di kampus. Iya aku menunggunya, karena dia berjanji untuk meminjami Vespa punyanya. Sampailah aku untuk sms ke Reni dan Juli. “Jul, semalem celana dalem gue muat gak lo pake?”, itu aku sms ke Reni, hehehe, seolah olah aku sms ke Juli.”Ren, semalem jadi meluk guling gak?”, itu aku sms ke Juli, seolah olah aku sms Reni.

Dan kau lihat sudah banyak burung di kampusku jika siang hari, begitupun dengan gunung. Dan mobilpun sudah memenuhi parkirannya masing masing. Sayang kau tidak di sana. Dan kalau kau tahu, bahwa sesungguhnya Reno, sudah berada di parkiran motor. “bang Bob, maaf. Telat”, kata Reno, “ahh, gak kenapa No, adik gue yang perempuan telat 2 hari, katanya biasa”, itu kataku, mengikuti kata Citra, adikku.

Akhirnya akupun sudah menaikki motor Vespanya Reno untuk memenuhi ajakan teman lama makan siang di sebuah restoran Pizza. Uh, Pizza itu apa ya? Masa kau tidak tahu, aku saja tahu.

Sesampainya aku di restoran Pizza, sudah banyak orang di sana. Ah, tapi aku tidak kenal. Aku hanya kenal pada dua orang gadis yang duduk di meja pojok. “kakak?”,” eh, Bang Bob..”, aih itu kakak Vani. Dia dateng dengan si Nilam. “Kak, aku ke kamar mandi dulu ya, mau wudlu..”.

Wudlu, itu harus kulakukan agar aku bersih. Dan aku mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada pihak restoran Pizza itu, karena sudah menyiapkan kami kursi untuk duduk. Itu membuat kami tidak perlu membeli kursi lagi. Repot!

Sampailah pada perbincangan yang tidak serius antara kami bertiga. Membuat kami bertiga layaknya para host dan komentator siaran olahraga. Kalau kamu tidak pernah menonton siaran olahraga, maaf saja, mungkin kamu tidak tahu. Dan kalau kau tidak sedang bersamaku waktu itu, ini aku kasih tahu, biar kamu tahu. Ataupun saat itu kamu juga ada disana bersamaku, tapi apakah mungkin karena kita tidak saling kenal.

Dan mbak waitress datang menghampiri kami. Aku lupa namanya. Ohh, bukan, aku sengaja untuk tidak kenal dia agar nantinya aku tidak usah sayang kepadanya. Kan, tak kenal maka tak sayang. Dia menawari kami dengan berbagai menu yang ada. Dan dia pergi lagi ketika kami sudah memesan. Lalu dia datang lagi mengantar pesanan kami. Lalu dia pergi lagi. Tak lama dia datang lagi untuk mengambil piring yang sudah kotor. Dia pergi lagi membawa piring yang kotor itu. Dia datang lagi untuk mengambil gelas yang sudah kotor. Dan dia pergi lagi untuk membawa yang sudah kotor. Ohh, mbak waitress. Maafkan diriku, sesungguhnya itu adalah piring dan gelas meja sebelah yang aku pakai untuk meletakkan saus dan membagi dua minumanku. Dan kau tersenyum, karena melihat mukaku yang kata kamu, aku ini tidak ganteng juga keren.

Pada hari yang sama dengan aku pergi ke restoran Pizza, maka itu bertepatan dengan tahun baru Muharram. Tahun barunya anak yatim. Dan dengan mengaku bahwa kakak Vani adalah anak yatim, maka kami pun mendapat bonus 3 buah balon..

Muharram, 2010

gila atau tidak?

Aku tahu ini adalah siang. Tapi kamu tahu?, tidak tahu juga tak mengapa koq. Itu urusanmu. Dan aku sadar aku telah mandi. Itulah yang menyebabkan aku untuk harus pergi ke kampus. Kampus hijau panggilannya. Tapi kalau kamu tidak pergi ke kampus denganku, itu juga urusanmu. Kupanggil adikku, Citra namanya. Maklumlah dia baru saja di wisuda dari kampusnya. Sedangkan aku belum, itu juga bukan urusanmu. “Tra, gue jalan dulu. Titip rumah jangan sampe lari.”,” iya bawel!”, itu kata Citra. Biarlah, itu panggilan sayang adikku padaku, bukan padamu.

Dan aku siapkan motorku, kunyalakan mesinnya seperti aku menyalakan lampu saja. Sampai dia berbunyi, itu tandanya bagus. Dan motorku suaranya berisik, maklumlah tidak aku silent. Aku naikkan motorku untuk kemudian aku jalankan. Tapi sebentar, aku meminta Pidi Baiq dari The Panas Dalam, Rolling Stones dan teman teman Sri Rejeki untuk menemaniku selama perjalanan nanti.

Jalanlah aku dengan motorku, sampai akhirnya berada di perempatan Garuda, Pidi Baiq menemaniku dengan Rohim. “Rohimmmm!!!!!!”, itu aku teriak dari motorku, mengikuti suara Pidi Baiq. Sampai akhirnya motor motor yang ada berdampingan denganku melihat ke arahku. “ sialan kau Rohim, kau punya utang sama aku 2 triliun, janjimu bulan ini mau dilunasin, tapi apa? Dasar lidah tak bertulang!. Mati saja kau Rohim!”, jelasku walaupun itu berbeda dengan lirik asli yang dibuat Pidi Baiq. Maaf Pak Haji, aku merubahnya, agar dengan itu semua harus menyangka, kalau aku sedang marah, bukan sedang mengikuti suaramu.

Dan siang itu memang sedang gelap, tapi kata orang yang ada di sebelahku dengan motornya, siang itu rasanya panas. Oh, maklumlah mungkin aku sedang memakai kacamata hitam waktu itu. Itu kulakukan bukan untuk gaya, walaupun itu bukan urusanmu. Tibalah aku di perempatan Cililitan. Cililitan yang katanya punya pusat grosir. Cililitan yang katanya punya terminal. “ Pak, maaf. Kalau mau ke Bandung lewat mana?”, aku bertanya pada pengendara motor sebelahku. “ Bandung?”, “ iya pak, Bandung”. “ Nah, mas salah jalan. Harus puter balik, lewat Bogor. Nanti kalau sudah di Bogor, mas tanya lagi aja, soalnya masih jauh juga.” Itu penjelasan dari bapak itu. “ baik pak, terima kasih. Motor saya parkir di PGC aja ya pak.nanti saya naik bis.” Jawabku itu, karena tadi aku melihat ada bis tujuan Bandung lewat Cililitan. “ terima kasih pak, semoga masuk surga dengan saya.”, “ iya sama sama”.

Akhirnya lampu hijau menyala juga. Menyebabkan aku harus mengebut motorku. Itu kulakukan agar si bapak tadi tidak mengikutiku ke Bandung. Maaf pak, bukan urusanmu untuk ke Bandung. Aihh, kulihat burung yang sedang terbang tinggi seperti mengejekku untuk bilang padaku bahwa lebih enak di udara, tidak ada macet. Tapi aku jawab perkataanmu wahai burung, lebih enak jadi diriku. Aku bisa mengendarai motor, tapi kamu tidak, payah!.

Waw, sudah jam 12.45 WIB. Itu aku tahu karena aku lihat jam tangan pengendara di sebelahku yang juga sedang diberhentikan oleh lampu merah di perempatan Utan Kayu. Aku lihat dari jauh ada seorang dengan pakaian robek dan sepertinya tanpa celana. Aku tanya sebelahku, “ itu yang di seberang siapa mas?”, tanyaku pada pengendara di sebelahku. “ hah? Yang mana? “, “ itu yang di seberang jalan, yang gak pakai celana”, “ itu orang gila mas.”, “ ohh.”.

Lampu hijau menyala dan aku menjalankan motorku, untuk kuberhentikan di depan orang yang dianggap gila tadi oleh orang yang di sebelah motorku tadi. “ halo bos, kalau ke Amerika lewat mana?”, itu tanyaku kepada orang yang kulihat berada di seberang jalan waktuku berhenti karena lampu merah tadi. “salah!” katanya sambil telunjuknya menunjuk ke a rah yang berlawanan dengan arahku. “ kalau ke Spain, lewat mana?”,”salah!” katanya sambil telunjuknya menunjuk ke arah yang sama, seolah olah dia berlaga seperti Patung Pancoran. Patung yang kata ibuku sejak aku lahir bergaya sama dengan sekarang yang pernah aku lihat. Tidak lelah ya?. “aduhh bos, ya sudah aku lurus saja. Terima kasih bos.” Sengaja aku tidak mengikuti perintahnya itu supaya aku tidak dianggap gila juga olehnya. Atau malah aku yang dianggap gila olehnya karena tidak ikuti perintahnya? Wallahu ‘alam.

Adi bobby

UNJ, Rabu 5 Januari 2011

salah satu yang teringat

Aku adalah sama dengan temanku. Mengapa? Ya, karena aku dan temanku sudah berada pada tahun kedua di perkuliahan. Akupun juga sama dengan temanku. Mengapa? Ya, karena aku dan temanku habis melaksanakan ospek terhadap mahasiswa baru. Yang membedakan aku dengan temanku hanyalah rumah dan orangtua, juga hewan peliharaan, juga motor yang aku naiki, juga sepatu, juga celana dalam dan luar yang terpakai. Kenapa aku ceritakan itu? Ya, agar kalian tahu bahwa kita diciptakan dengan persamaan juga perbedaan. Tapi, kalaupun kalian tidak mau tahu, tak mengapa.

Tetapi itulah keindahannya, teman. Saat harus tercipta berbeda itu bertujuan agar aku memiliki perbedaan dengan mereka juga kalian. Saat disitu ada persamaan, maka itulah kesamaan yang dimiliki saya, mungkin juga dengan kalian. Dan itulah maka aku sebutkan di atas.

Ya, inilah aku. Yang sudah melaksanakan ospek terhadap mahasiswa baru. Itu terjadi di saat sedang terjadi puasa bagi orang yang beriman dan meyakini. Salah satu yang masih terekam dengan penuh canda adalah ketika Juli, temanku. Dia mengganti password yang sudah aku buat dan disetujui teman teman panitia lain kepada mahasiswa baru Elektro Universitas Negeri Jakarta. “ lantai atas?”, itu tanya Juli kepada Rota, si mahasiswa baru yang sudah menjadi juniorku sekarang. “pak Budi”, jawabnya Rota. “lantai bawah?”, tanya Juli lagi. “hah? Lantai dasar, Bang”, sahut Rota. “kagak! Gue maunya lantai bawah!”, bentak Juli. Ya itu si Juli, dengan dalih dia mengganti password, hanya karena dia cadel R. “sialan lo!”, marahku pada Juli. Tapi gak kenapa lah. Senior itu harus benar, seperti tertuang dalam pasal 1. Kalaupun senior salah maka kembali ke pasal 1, itu yang ada di pasal 2.

Sudahlah, karena hari itu sudah menjadi gelap. Hal ini berarti memang hari sudah gelap. Dan karena gelaplah maka hasil buatan bapak James Watt, menjadi hal yang sangat bermanfaat. Tapi itu terjadi pada hari yang sangat aku lupa nama harinya pada waktu itu. Yang jelas itu terjadi setelah Lebaran. Yang lebih tepatnya, pada saat aku dan teman teman harus menjadi pembimbing acara ramah tamah Elektro 2008.

Hal inilah yang menyebabkan aku harus pergi malam, karena sang panitia yaitu anak anak baru kami, juga harus berangkat Jum’at malam. Tapi tidak semua, melainkan hanya beberapa orang yang membuat mereka disebut sebagai tim advance. Dan itu aku, yang memimpin rombongan dengan menaiki motorku. “jangan lupa, kita punya kode sendiri dalam berkendara motor rombongan. Bukan hanya Conan[1] saja yang tahu kode, tapi kita juga harus punya. Setuju?”, itu aku yang berbicara. Dan itu mereka hanya diam saja. Bagi mereka, kalau mereka menjawab pertanyaanku, itu adalah perbuatan gila. Hahaha. Terserah.

Sampailah kami, di tempat yang katanya itu adalah vila, di daerah Puncak sana, di Bogor. Bukan di gunung!. “adik adik dan teman teman yang aku cintai. Malam ini kita sudah tiba di vila dengan selamat. Mungkin kalau adik adik ingin bekerja malam ini silahkan, soalnya kami ingin istirahat. Jadi selamat bekerja ya.”, aku memberikan kata sambutan karena sudah tiba. Dan keesokan paginya, saat matahari sudah terbit dan ayampun sudah berkokok. Maka aku masih tertidur. Sehingga aku terbangun, karena dengan itu aku tidak merasakan bosannya tidur. Dan itu adalah Ayu, adik tingkatku yang dianya adalah panitia inti. Aku memanggilnya, “Yu, nanti kalo yang lain udah pada datang, lo tempatin di villa sebelah sana ya, jangan di sini, termasuk juga kakak kakak (teman-temanku) lo. Oke?”, “ siap bang”, lanjut si Ayu.

Kukatakan itu kepada Ayu, karena aku dapat sms dari si Juli, katanya rombongan sudah sampai di Mega Mendung. Ku kumpulkan teman temanku termasuk juga Bang Grandong, satu satunya senior kami yang juga ikut rombongan kami. Jadilah dia, senior dari senior, hehhee. “Bro, anak anak sudah sampai di Mega Mendung, karena kita baru bangun tidur, lebih baik kita ngumpet yuk, biar gak keliatan jeleknya. Setuju ya?”,”siap!”, jawab salah satu temanku. Lanjutlah kami untuk mencari tempat persembunyian di dalam villa, horden aku tutup termasuk juga pintu. Aku liat di sana, Arif ngumpet di kolong tempat tidur, 3 orang lainnya di kamar mandi, 2 orang lainnya di kamar, dan aku, Anggun, dan Bang Grandong ngumpet di kamar 1nya lagi. Liat kawan, kami semua harus bersembunyi. Karena memang itulah kesepakatan yang baru saja kita buat,hehehe.

“Bob, kita udah di depan villa. Di mana lo?”, Juli sms aku, kawan. Oh, betapa senangnya jika dia smsin aku. Maaf, agak berlebihan. “inget, villa ini kami pasang bom! Kalau kalian mau selamat, teriak di tengah lapangan ‘Tim Advance, tolong kami!’. Jangan dianggap bercanda, ini serius!”, itu sms balasanku ke Juli. Bang Grandong dan Anggun yang ada dalam 1 kamar denganku, hanya tertawa. “gak mungkin dilakuin Bob!!”, kata bang Grandong.

Itulah kudengar derap langkah para tamu yang baru saja datang di villa yang kami tiduri semalam. Oh, itu teman teman bro. Dan tak lama, “tim Advance, tolong kami!”, ku dengar itu teriak Juli. Kami semua keluar dari tempat persembunyian, lalu tertawa berjamaah dengan teriakan ala rockers. “edan!!!!”, kata Awan, temanku yang ikut rombonganku semalam. Oh, maaf Juli, kaulah kawanku tersayang. Karena tidak ada lagi yang bisa membuat kami seperti ini, kecuali kamu. Dan itu, Senny datang. Oh, aku gak bisa bicara kalau ada dia. Entahlah, sepertinya dia adalah yang selalu membungkam mulutku. Huh..

Jakarta, 2010



[1] Detektif Conan.