Rabu, 29 April 2009

badai matahari

Badai Matahari atau solar storm bila mengarah ke Bumi dapat menimbulkan gangguan pada lingkungan Bumi. Dari gangguan pada kinerja satelit, pesawat antariksa, sistem navigasi pesawat terbang, komunikasi radio, hingga melumpuhkan jaringan listrik dalam skala luas.

Dewasa ini manusia sangat bergantung pada teknologi tinggi untuk mempermudah kehidupan sehari-hari. Namun, ketergantungan ini bukannya tanpa bahaya.

Ambil contoh baru-baru ini. Ketika pasokan energi listrik ke Jakarta terputus karena adanya suatu gangguan, maka timbul kemacetan di mana-mana lantaran lampu lalu lintas tak berfungsi. Ternyata, manusia modern tidak bisa lagi hidup berkelompok secara teratur tanpa bantuan teknologi.

Teknologi tinggi sangat riskan terhadap amukan badai Matahari. Untuk mengurangi dampak dari badai Matahari atau gangguan antariksa lainnya, dunia internasional saling bahu-membahu dalam program cuaca antariksa (space weather).

Gangguan jaringan listrik

Ledakan matahari (flare) kadang-kadang disertai pelontaran massa korona (Coronal Mass Ejection/CME). Peristiwa ini membangkitkan badai magnetik (magnetic storm) sangat kuat bila berinteraksi dengan medan magnet Bumi.

Selama interaksi terjadi, partikel bermuatan dalam jumlah besar dari Matahari terperangkap masuk ke dalam medan magnet Bumi melalui pintu kutub-kutub Bumi. Peristiwa ini kemudian membangkitkan arus listrik sangat kuat, disebut geomagnetically induced currents (GIC), yang bisa mengalir pada jaringan listrik tegangan tinggi dan menimbulkan kerusakan pada sistem interkoneksi.

Menurut hasil pengukuran saat terjadi badai magnetik, kuat arus induksi itu bisa mencapai 100 Ampere. Indikasi terjadinya arus induksi kuat pada daerah kutub ini ditandai dengan kemunculan aurora yang indah. Suatu fenomena alam yang sangat menakjubkan, namun bisa mengancam fasilitas-fasilitas publik yang menggunakan teknologi tinggi. Semakin kuat badai magnetik, semakin kuat pula cahaya aurora yang dipancarkan. Artinya, semakin besar kemungkinan kerusakannya.

Badai magnetik pernah melumpuhkan seluruh jaringan listrik sistem Hydro Quebec pada 13 Maret 1989, yang memasok listrik di Kanada dan Amerika Serikat. Padamnya listrik telah merugikan sekitar 6 juta penduduk.

Peristiwa tersebut mengejutkan, namun menjadi pelajaran penting bagi upaya peningkatan keandalan sistem distribusi energi listrik sehingga lebih mampu bertahan terhadap amukan badai Matahari. Badai Matahari luar biasa dahsyat pernah terjadi pada akhir Oktober 2003. Namun, berkat adanya sistem peringatan dini antariksa dan teknologi yang lebih andal, dampak badai Matahari terhadap jaringan listrik di kawasan sekitar kutub bisa diminimalkan.

Pengaruh badai magnetik terhadap kawasan ekuator diyakini tidak akan merusak sistem jaringan listrik tegangan tinggi. Padamnya listrik di Jakarta beberapa waktu lalu yang diakibatkan adanya gangguan pada sistem interkoneksi Jawa-Bali, dipastikan bukan dipicu oleh peristiwa badai Matahari. Apalagi, pada saat itu badai Matahari pun tidak terjadi.

Peringatan dini antariksa

Bencana yang menimpa sistem Hydro Quebec menyampaikan pesan penting. Sumber bencana bukan hanya berasal dari peristiwa di Bumi sendiri, seperti gunung meletus, gempa bumi, tsunami, atau lainnya. Tetapi juga dari luar Bumi, yaitu Matahari.

Karena itulah, kini banyak negara melakukan studi intensif terhadap perilaku aktivitas Matahari dan efeknya terhadap lingkungan Bumi. Observatorium pun diluncurkan ke ruang angkasa untuk memonitor aktivitas Matahari serta kondisi lingkungan di sekitar Bumi.

Observatorium antariksa penting yang menunjang program cuaca antariksa antara lain Solar and Heliospheric Observatory (SOHO) dan satelit seri GOES (Geostationary Operational Environment Satellite). Pesawat SOHO ditempatkan pada titik Lagrange 1, yaitu titik paling stabil di antara Bumi-Matahari sejauh 1,5 juta kilometer dari Bumi. Karena terletak segaris dengan Bumi-Matahari, pesawat ini mampu memberikan informasi lebih dini dan akurat sebelum badai matahari sampai di Bumi.

Untuk memantau perilaku medan magnet Bumi ketika terjadi badai Matahari, dibangun jaringan detektor medan magnet (magnetometer). Di antaranya adalah Circum-pan Pacific Magnetometer Network (CPMN) dan MAGDAS.

Termasuk dalam jaringan CPMN dan MAGDAS yaitu beberapa magnetometer yang ditempatkan di stasiun-stasiun Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Geofisika dan Meteorologi (BMG). Misalnya, magnetometer di Stasiun Pengamat Dirgantara Biak telah beroperasi sejak tahun 1992. Data magnetometer jangka panjang (13 tahun) dengan pengamatan setiap satu detik ini merupakan aset berharga bagi penelitian dampak badai Matahari terhadap lingkungan Bumi.

Selain itu, berbagai jenis teleskop dibangun di permukaan Bumi untuk membentuk jaringan global pemantau Matahari selama 24 jam. Dalam kaitan ini, Stasiun Pengamat Matahari Watukosek telah memberikan kontribusi dalam bentuk analisis aktivitas Matahari sejak 1987. Hasil analisis dikirimkan setiap bulan ke Sunspot Index Data Center (SIDC), sekarang menjadi Solar Index Data Analysis Center (SIDAC) di Belgia.

Untuk mewujudkan suatu sistem peringatan dini antariksa, data observasi saja tidak cukup. Tim Penelitian Matahari Watukosek pun merancang, membuat, dan mengembangkan simulasi komputer untuk menirukan proses-proses fisika dalam sistem Matahari-Bumi. Antara lain, simulasi badai Matahari, penjalarannya di ruang antarplanet, serta interaksinya dengan magnetosfer Bumi.

Negara-negara di daerah ekuator dan lintang menengah lebih beruntung daripada negara-negara di sekitar kutub Bumi karena pengaruh badai Matahari lebih lemah sehingga tidak sampai membuat kerusakan pada sistem jaringan listrik tegangan tinggi.

Meski demikian, untuk meningkatkan ketahanan sistem jaringan listrik di Indonesia, perlu dirintis kerja sama penelitian antarinstansi. Misalnya, penelitian untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh badai Matahari terhadap efisiensi transmisi energi listrik melalui jaringan tegangan tinggi.

BACHTIAR ANWAR Anggota Tim Penelitian Matahari Watukosek, Lapan