Sabtu, 28 Mei 2011

sekolah adalah kenangan

Putih biru adalah warna. Jika di Indonesia, putih biru identik dengan seragam SMP (Sekolah Menengah Pertama), setuju ya?. Kenapa disebutkan pertama? Ya, karena tidak ada sekolah menengah kedua, ketiga bahkan keempat. Setuju lagi ya?. Dan di tahun 1999 lah aku mulai memasuki masa sekolah di SMP. Masa dimana aku melanjutkan sekolah setelah SD (Sekolah Dasar). Masa dimana aku menemui SMPku yaitu di daerah Cijantung. Daerah Jakarta.

Aku hanya ingin berbagi cerita. Karena tiap yang aku lakukan harus mendapati beragam cerita di dalamnya. Cerita suka, cerita duka, cerita pendek, bahkan akan adanya cerita bersambung. Di SMPku lah ini, aku mendapatkan teman yang berbeda ketika aku SD. Dan di SMP inilah cita citaku dari kecil menjadi terbongkar. Menjadi banyak yang mengetahui bahwa aku berkeinginan menjadi supir bis malam. Menjadi awal yang pada tahu bahwa aku tidak bisa berenang. Dan di SMP ini lah pertama kali aku mengenalkan nama “Bobby” kepada teman temanku.

Ada Tugio, dia kami panggil dengan nama itu karena mirip sekali dengan striker klub sepakbola asal Semarang. Ada Sengkle, yang kau tahulah karena kepalanya itu yang membuat kami curiga. Juga ada Iqbal Bonto, yang ketika bermain sepak bola, aku suruh dia untuk mengambil bola dari kaki musuh, eh dia malah mengambil bolanya beneran untuk diberikan kepadaku. Emangnya kue!

Oiya, ada juga Ulfa, dimana cinta pertamaku tertambat. Ahaay.

Dan juga bu Selvy. Guru Sejarahku kala SMP. Karena dialah maka kami harus berpisah. Dia harus kembali ke negaranya di Timor Leste. Timor timur dulunya.

Selesai SMP, maka tepatnya di tahun 2002, aku masuk STM. Tidak usah aku jelaskan ya, apa itu STM, mudah mudahan kamu mengetahuinya. Termasuk alasan kenapa aku harus masuk ke STM juga tidak usah aku jelaskan juga, ya. Aku takut jika aku cerita nanti, aku dianggap mempengaruhimu untuk masuk STM. Nanti semuanya juga. Hmm, inilah aku yang sangat pede. Walaupun jelek, tetap harus pede, karena itu adalah rahmat!

Maka di STM inilah aku harus sekolah selama 4 tahun. Dan aku masuk jurusan listrik. Kenapa? Agar dengan itu aku bisa mengetahui betapa hebatnya bapak Thomas Alva Edison dulu. Betapa okenya Bapak Marie Ampere, Bapak Volt, dan semuanya. Termasuk keren kerennya bapak guruku.

Dan di STM jugalah aku pertama kalinya belajar menjadi seorang siswa yang mulai berpikiran beda. Berbeda dari murid lainnya. Dimana kami maunya disebut siswa bukan murid. Kenapa? Itu urusan kami, mau menjawab atau tidak. Maaf ya.

Atas nama diri sendiri aku memohon maaf yang sebesar besarnya kepada salah satu Ibu Guru dari mahasiswa yang sedang praktek mengajar. Mohon maaf karena kami, kamu menjadi terkunci di kelas kami yang isinya cowok semua. Dan karena itu kamu menjadi menangis.

Kepada teman teman jurusan Listrik dan lainnya, terima kasih.

Kepada Dani, terima kasih atas masa MOS (masa orientasi siswa) ketika itu. Membuat kita masih bisa tertawa lagi ketika harus kumpul. Dan semoga kamu menjadi bapak yang baik untuk anakmu.

Untuk Ibu Guru PPKn ketika itu. Kamu menghukumku karena aku bercanda dengan temanku ketika petugas PASKIBRA sedang membacakan Pancasila. Aku diminta olehmu untuk masuk ke setiap kelas dan membacakan Pancasila. Ohh, Ibu berharap dengan itu aku bisa menghapalnya, ternyata tidak. Maaf ibu.

Dan sepertinya, STMku sekarang berbeda dengan masa masa waktu itu. Sekarang sudah tidak ada lagi yang telanjang bareng sehabis olahraga di lapangan. Sudah tidak ada lagi yang membalik posisi mimbar Masjid, yang menjadikan sang khotib harus membelakangi jemaah. Termasuk mengkorsletkan mesin pembuang air sekolah, agar dengan itu kami berharap ketika hujan turun, sekolah akan banjir dan kami diliburkan.

Di tahun dua ribu enamlah aku memasuki masa masa menjadi mahasiswa di Universitas Negeri jakarta. Kakak kakak ospek yang galak dan juga menghibur. Aku rindu. Rindu akan aktivitas ospek. Rindu akan mengerjai panitia ospek dari jurusan yang lainnya. Rindu akan cerita cerita itu.

Tak ada yang abadi. Termasuk pula dengan kehidupan. Tapi cerita, kenangan dan kalian semua tetap abadi. Abadi menjadi salah satu bagian hidupku. Abadi menjadi legenda kampus. Jangan pedulikan orang lain yang menjadikan slogan “Hidup Mahasiswa!”, slogan kita tetaplah “Hidup Mahasiswi!”. Semangat kita akan “ yang menang membeli arang dan yang kalah membeli daging ayam” untuk selanjutnya kita bakar sehingga menjadi sate ayam. Jadi tak ada ruginya menang dan tak ada salahnya menjadi kalah. Semuanya tetap bisa makan sate ayam.

Lantai 2, rumahku

27 Mei 2011